6 Februari 2009

Film Sejarah Bugis-Melayu, Tentang Cinta dan Kekuasaan

·

Bulang Cahaya, Novel Rida K Liamsi yang Difilmkan (1)

KISAH heroik orang Bugis pada abad ke-17 menjadi suatu yang tak terbantahkan. Tak heran jika banyak cerita perjuangan dan kepahlawanan, bahkan cinta dan kekuasaan yang kemudian muncul.
"Bulang Cahaya", sebuah novel karya Rida K Liamsi salah satu contohnya. Malah novel ini kemudian menjadi inspirasi lahirnya film "Bulang Cahaya."

BERBANGGALAH warga Sulsel, khususnya Bugis. Sebab tak lama lagi, sebuah film yang berkisah tentang orang Bugis akan muncul di permukaan. Film ini diproduksi di Indonesia dan Malaysia. Film ini diangkat dari novel karya Rida K Liamsi, CEO Riau Pos (grup Jawa Pos).

Sebagai film yang mengangkat sejarah Bugis-Melayu, shooting film ini pun sebagian dilaksanakan di Tana Luwu, yakni Palopo. Malah, untuk shooting perdana, pelaksanaannya akan dilakukan di sana.

Kenapa Palopo? Menurut Producer Executive, H Sudarman A. Ade, dipilihnya Palopo, sebab tempat ini menjadi daerah asal Daeng Celak. Daeng Celak ini merupakan bangsawan Bugis yang menjadi datuk Raja Djaafar, tokoh utama dalam novel Bulang Cahaya yang kemudian difilmkan.

"Chasting juga dilakukan di sana mulai Juli bulan depan. Usai shooting di Palopo, selanjutnya diteruskan di Makassar, Jakarta, provinsi Riau, Kepulauan Riau khususnya di Penyengat, serta Malaysia. Di Malaysia, film ini akan shooting sebagaimana isi novel," jelas Sudarman saat jumpa pers di Hotel Clarion, Rabu, 18 Juni malam tadi.


Hadir dalam jumpa pers masing-masing; Produser, Andi Hijriah Hamsina dan Mimi Lutmila, serta Datu Aziz Chemor bersama istri yang mewakili istri wakil perdana menteri Malaysia,
Datin Sri Rosma Binti Mansyur.

Novel yang difilmkan ini, bercerita kisah percintaan antara Raja Djaafar yang keturunan Bugis dengan Tengku Buntat yang keturunan Melayu. Tengku Buntat ini, pada zamannya, karena kecantikan parasnya digelar sebagai Bulang Cahaya atau cahaya di kampung Bulang tepatnya di Tanjung Pinang Kepulauan Riau.

"Shooting penuh film ini dilakukan setelah lebaran. Pertengahan 2009 kita harap sudah edar. Ide cerita film ini lahir dari orang Bugis atau KKSS, tokoh Bugis yang ada di perantauan Riau, Kepulauan Riau, dan Jakarta. Penasihat film ini, termasuk wapres Jusuf Kalla, ketua umum KKSS Pusat, Andi Mallarangeng, wakil ketua MPR AM Fatwa, serta Andi Galib yang waktu itu dubes India," katanya.

Shooting film ini di Malaysia merupakan hasil kerja dengan Datu Azis Chemor, dan istri wakil perdana menteri Malaysia sebagai pendukung utama. Kebetulan juga wakil perdana menteri Malaysia masih keturunan Bugis.

Datu Azis mengatakan, pihak Malaysia, dalam hal ini dirinya bersama Datin Sri Rosma Binti Mansyur tertarik membantu sebab film Bulang Cahaya ini banyak membetulkan sejarah Malaysia. Contohnya Kuala Lumpur yang katanya dibuka orang Tiongkok padahal ternyata oleh orang Mandailing (Sumatera). Mereka datang membuat tambang Biji Timah.

"Alasan lain, pahlawan orang Bugis banyak membantu menegakkan kesultanan Melayu-Johor. Itu yang membuat saya sangat berminat mendukung film ini.

Tambahan pula, keakraban saya dengan wakil perdana menteri yang tak lain orang Bugis. Dukungan saya ini bermakna bahwa saya mendukung persaudaraan, penyatuan, silaturahmi, antara Sulawesi dengan Malaysia. Itu niat saya," tegas Azis yang sudah ke kerajaan Luwu bersama produser film ini. Azis juga merupakan warga Malaysia keturunan Sumatera Utara.

Produser, Mimi Lutmila mengatakan, film ini berkisah soal kasih tak sampai Raja Djaafar dengan Tengku Buntat yang keturunan Temanggung di Kerajaan Melayu Riau. Mereka lalu berpisah dan membawa cinta masing-masing hingga mati.

"Bahkan berdasarkan literatur, hingga akhir hayat, Tengku Buntat tidak mau memiliki keturunan dari suaminya, Tengku Husin. Itu karena saking cintanya ke Raja Djaafar. Raja Djaafar juga diperhadapkan pada cinta dan kekuasaan. Keduanya terpisah karena kekuasaan dan intrik politik pada masa itu," jelasnya.

Harapan Mimi, film ini akan menjadi motivasi bagi suku lain untuk mengangkat adat dan sejarahnya.
Produser, Andi Hijriah Hamsina, mengatakan, film ini dirintis sejak 2003 namun tak bisa direalisasikan. "Setelah bertemu Mimi dan membaca bukunya, saya tertarik. Isinya isi diri saya sendiri. Nenek moyang saya. Kenapa orang lain bisa mengangkat sejarahnya, saya tidak.

Di mana-mana, hingga Belanda, isi novel ini sama dengan buku di sana. Tidak ada yang berbeda. Opu Dg Rilaka Bangsawan Kerajaan Luwu, itu nenek saya. Saya sudah masuk ke istana, sepupu saya mengatakan itu kakek saya.

Jadi kenapa saya tidak terlibat dalam film ini," tegas Hijriah seraya melanjutkan bahwa film ini didukung tiga gubernur dan tentu saja pemerintah Malaysia melalui wakil perdana menterinya. (bersambung)


0 komentar: